Diceritakan dalam kitab Thobaqotus Syafi'iyyah bahwa Ar Robī' bin
Sulaiman ra. itu termasuk santri yang lelet alias susah paham, maka
kadang pernah gurunya, yaitu Imam Asy Syafi'i ra., harus mengulangi satu
masalah sampai 40 kali, itupun masih belum juga paham, lalu dia pun
meninggalkan majlis itu karena merasa malu. Kemudian Sang Guru
memanggilnya dan mem-privat beliau pelajaran tadi hingga paham. Imam Asy
Syafi'i berkata : "Hai Robi', seandainya aku bisa memberimu ilmu
semudah menyuapkan makanan, niscaya sudah aku lakukan."
Diriwayatkan Imam Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi'i. Imam Al Ajuri
dalam kitabnya, Akhlakul Ulama, berkata : "Maka seorang guru harus
ekstra sabar pada muridnya yang sulit paham, jangan kasar dan
menghinanya sehingga membuat dia malu untuk belajar. Karena anda tidak
tahu mana diantara murid2 itu yang nanti akan menjadi murid paling
berguna bagimu."
Dan benarlah apa yang dikatakan Imam Al Ajuri,
Robi' inilah yang menjadi rowi utama Imam Asy Syafi'i, bahkan menurut
ulama, jika ada perbedaan antara Imam Robi' dan Imam Muzani maka Imam
Robi' lah yang dimenangkan.
==============
==============
Ada satu kisah
dari Waliyulloh Agung dari Pasuruan, Kiai Hamid, tentang bagaimana
seharusnya seorang guru menghadapi murid yang tidak sesuai dengan
harapannya seperti di atas.
Suatu hari di sekitar tahun 60-an,
salah seorang santri beliau yang menjadi pimpinan GP Ansor Cabang
Pasuruan nyaris putus asa dalam kaderisasi di ranting-ranting. Pasalnya,
dari 100 lulusan pelatihan, paling hanya ada 3-5 orang kader saja yg
betul-betul bisa diandalkan. Dalam kegalauannya ini, si santri
memutuskan sowan pada Kiai Hamid dahulu untuk konsultasi.
Saat dia sowan, sembari menunjuk pada pohon-pohon kelapa yang berbanjar di pekarangan rumah, Kiai Hamid berkata panjang lebar.
"Aku menanam pohon ini, yang aku butuhkan itu buah kelapanya. Ternyata
yang keluar pertama kali malah blarak, bukan kelapa. Setelah itu glugu,
baru setelah beberapa waktu keluar mancung. Mancung pecah, nongol
manggar, yang (sebagian rontok lalu sisanya) kemudian jadi bluluk, terus
(banyak yang rontok juga dan sisanya) jadi cengkir, terus (sebagian
lagi) jadi degan, baru kemudian jadi kelapa. Lho setelah jadi kelapa pun
masih ada saput, batok, kulit tipis (yang semua itu bukan yg saya
butuhkan tadi). Lantas, ketika mau diambil santannya, masih harus
diparut kemudian diperas. Yang jadi santan tinggal sedikit. Lha itu
sunnatulloh. Lha yang 95 orang kader itu, carilah, jadi apa dia. Glugu
bisa dipakai untuk perkakas rumah, blarak untuk ketupat."
Kalau
inginnya mencetak orang 'alim, tidak bisa diharapkan bahwa semua murid
di kelas itu bakal jadi 'alim semua. Pasti ada seleksi alam, akan ada
proses pengerucutan. Meski begitu, bukan berarti pendidikan itu gagal.
Katakanlah yang jadi hanya 5 %, tapi yang lain bukan lantas terbuang
percuma. Yang lain tetap berguna, tapi untuk fungsi lain, untuk peran
lain. (dari buku Percik-percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan)
Semoga bermanfaat
(diambil dari akun fb Ma'had 'Aly Darusy Syahadah )