• Breaking News

    Pejuang Pena

    Coretan seorang hamba al-Izzah

    Monday 6 February 2012

    Haid-part 1

    DARAH KEBIASAAN WANITA
    [ Indonesia ]
    رسالةفيالدماء الطبيعيةللنساء
    MUHAMMAD BIN SHALEH AL-‘UTSAIMIN
    محمد بنصالح العثيمين
    Penerjemah : M. YUSUF HARUN, MA
    ترجمة: محمد يوسفهارون
    Murajaah :
    MUHAMMADUN ABD HAMID, MA
    DR.MUH.MU’INUDINILLAH BASRI, MA
    ERWANDI TARMIZI
    Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
    المكتبالتعاونيللدعوةوتوعيةالجالياتبالربوة بمدينةالرياض
    1428 –2007


    MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA
    1. MAKNA HAID
    Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang
    mengalir. Dan menurut syara’ ialah: darah yang terjadi
    pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan
    pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal,
    bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran
    atau kelahiran. Oleh karena haid adalah darah normal,
    maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan
    dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata
    pada setiap wanita.

    2. HIKMAH HAID
    Adapun hikmahnya, karena janin yang ada di
    dalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana
    yang dimakan anak diluar kandungan, dan tidak mungkin
    bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan
    untuknya, maka Allah subhanahu wa ta'ala telah
    menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran
    darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin
    dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna,
    yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, di
    mana darah tersebut merasuk melalui plasenta dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah
    sebaik-baik Pencipta.
    Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang
    wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan
    haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita
    yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal
    masa menyusui.

    USIA DAN MASA HAID
    1- USIA HAID
    Usia haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan
    kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid
    sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid
    sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada
    kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.
    Para ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada
    batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita
    tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia
    tersebut?
    Ad Darimi, setelah menyebutkan pendapatpendapat
    dalam masalah ini, mengatakan: “hal ini semua,
    menurut saya keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah
    keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi
    bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut
    wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah
    Yang Maha Tahu”.
    Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi
    pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
    Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah
    haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9
    tahun atau di atas 50 tahun. Sebab Allah subhanahu wa
    ta'ala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini,
    wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah
    dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada
    masalah di atas tidak ada satupun dalil yang
    menunjukkan hal tersebut. .

    2- MASA HAID
    Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan
    masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh
    pendapat dalam hal ini.
    Ibnu Al Mundzir mengatakan: “Ada kelompok
    yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai
    batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.
    Pendapat ini seperti pendapat Ad Darimi di atas
    dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan
    itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan
    logika.
    Dalil pertama:
    Firman Allah subhanahu wa ta'ala:
    “Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
    Katakanlah: “ haid itu adalah suatu kotoran” , oleh sebab
    itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka,
    sebelum mereka suci…” (QS. Al Baqarah: 222).
    Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas
    akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari
    semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini
    menunjukkan bahwa illat (alasan) hukum (larangan
    menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau tidaknya.
    Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah
    suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid
    tersebut.
    Dalil kedua:
    Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi
    Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
    kepada Aisyah yang haid ketika dalam keadaan Ihram
    untuk umrah:
    “lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah haji,
    hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum
    kamu suci” (HR. Muslim: 4/30).
    Kata Aisyah: “Setelah masuk hari raya kurban,
    barulah aku suci”.
    Dalam shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
    Aisyah:

    “Tunggulah, jika kamu suci, maka keluarlah ke
    Tan’im” .
    Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi shallallahu
    ‘alaihi wa sallam sebagai batas akhir larangan adalah
    kesucian, bukan suatu masa tertentu, ini menunjukkan
    bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada
    dan tidaknya.
    Dalil ketiga:
    Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan
    para fuqaha’ dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al-
    Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
    sallam, padahal ini masalah penting, bahkan amat
    mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan
    rincian tersebut termasuk yang wajib difahami oleh
    manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah
    subhanahu wa ta'ala, niscaya telah dijelaskan secara
    gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang,
    mengingat pentingnya hukum-hukum yang
    diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa,
    nikah, talak, warisan, dan hukum lainnya. Sebagaimana
    Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat:
    jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan
    sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya,
    persentasenya, dan siapa yang berhak menerimanya,
    tentang puasa; waktu dan masanya, tentang haji dan
    masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etika makan,
    minum, tidur, jima’ (hubungan suami-istri),masuk dan keluar rumah, buang hajat,, sampai jumlah
    bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan
    perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang
    besar, yang merupakan kelengkapan agama dan
    kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada
    kaum mu’minin.
    Firman Allah ta’ala:
    “…Kami turunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an)
    untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS. An Nahl: 89).
    “…Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuatbuat,
    akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
    sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu…". (QS.
    Yusuf: 111).
    Oleh karena itu pembatasan dan rincian tersebut
    tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi
    shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka nyatalah bahwa hal
    itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang
    sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid,
    yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’
    menurut ada ada atau tidak adanya haid.
    tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah- berguna bagi
    anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama
    lainnya, karena hukum syar’i tidak dapat ditetapkan
    kecuali berdasarkan dalil syar’i dari kitab Allah, atau
    Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
    ijma’ yang diketahui, atau qiyas yang shahih.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu
    kaidah yang dibahasnya mengatakan: “Di antara sebutan
    yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam
    Kitab dan Sunnah yaitu sebutan haid. Allah tidak
    menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun
    masa suci di antara dua haid. Padahal umat
    membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa
    mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara
    satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barang siapa
    menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia
    telah menyalahi Kitab dan Sunnah. (Risalah fil asmaa
    allati ‘allaqa Asy Syaari al ahkaama bihaa, hal: 35).
    Dalil keempat:
    Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya.
    Yakni, bahwa Allah menerangkan illat (alasan) haid
    sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti
    kotoranpun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua
    dengan hari pertama, antara hari keempat dengan hari
    ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari ke enam
    belas dengan hari ke lima belas, atau hari ke delapan
    belas dengan hari ke tujuh belas. Haid adalah haid dan
    kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut

    terdapat illat yang sama. Jika demikian, bagaimana
    mungkin dibedakan dalam hukum di antara kedua hari
    itu, padahal keduanya sama dalam illat? Bukankah
    menurut Qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut
    sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam
    illat?
    Dalil kelima:
    Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan
    ulama yang memberikan batasan menunjukkan bahwa
    dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan
    patokan. Namun semua itu merupakan hukum-hukum
    ijtihad yang bisa salah dan juga bisa benar, tidak ada satu
    pendapat yang lebih patut diikuti dari pada lainnya. Dan
    yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat
    adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
    Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada
    batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang
    kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap
    kali wanita melihat darah alami, bukan di sebabkan luka
    atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa
    mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali jika
    keluarnya darah itu terus-menerus tanpa henti atau
    berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam
    sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah.
    Dan akan dijelaskan Insya Allah, tentang istihadhah dan
    hukum-hukumnya.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Pada
    prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah
    haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa
    darah itu istihadhah.”
    Kata beliau pula: “Maka darah yang keluar adalah
    haid, bila tidak diketahui darah penyakit atau karena
    luka.”
    Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat
    yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat
    yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih
    mudah diamalkan dan diterapkan dari pada pendapat
    mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian,
    pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai
    dengan akidah agama Islam, yaitu mudah dan gampang.
    Firman Allah subhanahu wa ta'ala:
    “ Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan
    untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al
    Hajj: 78).
    Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
         
      
    “Sungguh agama (Islam) itu mudah, dan tidak
    seseorangpun yang mempersulit (berlebih-lebihan)
    dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka
    berlakulah lurus, sederhana (tidak melampaui batas) dan
    sebarkan kabar gembira” (HR. Al Bukhari)

    Dan di antara akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa
    sallam bahwa jika beliau diminta memilih dua perkara,
    maka dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan
    perbuatan dosa.
    3. HAID WANITA HAMIL
    Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan
    hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam
    Ahmad rahimahullah: “kaum wanita dapat mengetahui
    adanya kehamilan dengan berhentinya haid”.
    Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat
    sebelum melahirkan (dua atau tiga hari) dengan di sertai
    rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas, tetapi
    jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati
    kelahiran tapi tidak disertai rasa sakit, maka darah itu
    bukan darah nifas. Jika bukan darah nifas, apakah itu
    termasuk darah haid yang berlaku pula baginya hukumhukum
    haid atau disebut darah kotor yang hukumnya
    tidak seperti hukum darah haid? ada perbedaan pendapat
    di antara para ulama dalam masalah ini.
    Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah
    darah haid apabila terjadi pada wanita menurut waktu
    haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang keluar dari
    rahim wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab
    yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada
    keterangan dalam Al Qur’an maupun Sunnah yang
    menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil
     Inilah pendapat Imam Malik dan As Syafi'i, juga
    menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
    Disebutkan dalam kitab Al Ikhtiyar (hal: 30): “Dan
    dinyatakan oeh Al Baihaqi menurut salah satu riwayat
    sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan
    bahwa Imam Ahmad telah kembali dari pendapat ini”.
    Dengan demikian, terjadilah sesuatu pada wanita
    hamil ketika haid, sebagaimana apa yang terjadi pada
    wanita yang tidak hamil, kecuali dalam dua masalah:
    1. Talak. Diharamkan mentalak (mencerai) wanita
    tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi itu tidak
    diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab talak
    (perceraian) dalam keadaan haid terhadap wanita yang
    tidak hamil menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala:
    “… apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka
    hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
    dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)" (QS. Ath
    Thalaq: 1).
    Adapun mencerai wanita hamil dalam keadaan haid
    tidak menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala.
    Sebab, siapa yang mencerai wanita hamil berarti ia
    menceraikannya pada saat dalam menghadapi masa
    iddahnya, baik dalam keadaan haid atau suci, karena
    masa iddahnya adalah dalam kehamilan. Untuk itu, tidak
    diharamkan mencerai wanita hamil, sekalipun setelah melakukan jima’ (senggama), dan berbeda hukumnya
    dengan wanita tidak hamil.
    2. Iddah. Bagi wanita hamil iddahnya berakhir
    pada saat melahirkan, meski pernah haid ketika hamil
    ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa
    ta'ala:
    “ Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
    iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan
    kandungannya” (QS. Ath Thalaq: 4).

    WARNING !

    Konten blog ini masih banyak kekurangan.

    (Beberapa konten dari zaman SMA dulu, mohon maklum)

    Ambillah yang bermanfaat dan tinggalkan yang mafsadat serta syubhat.

    Semoga Arrohmaan menjaga, menunjuki dan mengampuni pemilik blog ini.

    Baarokallaahu fiikum.

    Ukhtukum Fillaah,

    Al-Qowarir Fidinillaah.

    Sahabat Blogger

    Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net