Renungkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku
untuk Allah Tuhan Semesta Alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya...(QS.
Al-An’am:162-163)
Hidup adalah ibadah,
itulah semboyan umat Islam. Karena ibadah bukan hanya seputar di masjid
atau di majlis ta’lim saja tapi segala sesuatu yang dicintai dan yang diridhoi
oleh Allah ‘Azza wa Jalla baik berupa perkataan, perbuatan yang dhahir ataupun
yang bathin. Jadi “semua” yang kita kerjakan di dunia ini bisa bernilai ibadah
kepada Allah dengan syarat ikhlas semata-mata karena Allah dan sesuai dengan
apa yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Berjuta jiwa
melalang buana, mencari kebahagiaan di pucuk-pucuk dunia. Membuang harta dan
merebut tahta, atau juga berburu wanita. Namun kiranya terlupa bahwa
kebahagiaan berada di dalam dada. Dengan iman dan taqwa sejatinya, bukanlah
durhaka dengannya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan dari laki-laki ataupun
perempuansedang dia beriman maka pasti akan kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sungguh akan kami beri balasan pahala kepada mereka
dengan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Berdasarkan ayat
diatas Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan dengan gamblang bahwa hakikat
kebahagiaan adalah apabila kita beriman dan beramal shalih.
Pusat kebahagiaan itu terletak di hati. Apabila hati seseorang itu
dipenuhi dengan cahaya keimanan sesuai dengan petunjuk Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya, maka dia akan bahagia di dunia dan akhirat.
Sebaliknya, bagi mereka yang berpaling dari jalan Allah dan
mengikuti jalan lain dengan konsepsi setan dan konco-konconya, maka pasti cepat
atau lambat ia akan mendapatkan kesengsaraan dunia apalagi di akhirat. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit...” (QS. Thaaha: 124)
Allah hanya
menerima hati yang bersih, tulus dan ikhlas, kehidupannya dengan berbagai
variasinya dipersembahkan hanya untuk-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“(yaitu) pada hari dimana harta dan anak-anak tidak berguna,
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’araa:88-89)
Sebagian ulama salaf menggambarkan bahwa hati ini seperti rumah
yang mempunyai pintu dan jendela. Apabila penjagaan pintu dan jendela tidak
ketat, bisa dipastikan seisi rumah akan dikuras oleh maling. Pintu dan jendela
tersebut adalah mata, telinga, dan seluruh anggota tubuh. Sedangkan malingnya
adalah setan dan kroninya. Kita berkewajiban untuk menjaga hati kita dan mengisinya dengan
kesucian sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
Sumber: Farid Ahmad Okbah, Hidup Hanya Sekali Jangan Salah Jalan,
Jakarta: Perisai Qur’an, 2011, hal.50-52