DARAH KEBIASAAN WANITA
[ Indonesia ]
رسالةفيالدماء الطبيعيةللنساء
MUHAMMAD BIN SHALEH AL-‘UTSAIMIN
محمد بنصالح العثيمين
Penerjemah : M. YUSUF HARUN, MA
ترجمة: محمد يوسفهارون
Murajaah :
MUHAMMADUN ABD HAMID, MA
DR.MUH.MU’INUDINILLAH BASRI, MA
ERWANDI TARMIZI
Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
المكتبالتعاونيللدعوةوتوعيةالجالياتبالربوة بمدينةالرياض
1428 –2007
[ Indonesia ]
رسالةفيالدماء الطبيعيةللنساء
MUHAMMAD BIN SHALEH AL-‘UTSAIMIN
محمد بنصالح العثيمين
Penerjemah : M. YUSUF HARUN, MA
ترجمة: محمد يوسفهارون
Murajaah :
MUHAMMADUN ABD HAMID, MA
DR.MUH.MU’INUDINILLAH BASRI, MA
ERWANDI TARMIZI
Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
المكتبالتعاونيللدعوةوتوعيةالجالياتبالربوة بمدينةالرياض
1428 –2007
MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA
1. MAKNA HAID
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang
mengalir. Dan menurut syara’ ialah: darah yang terjadi
pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan
pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal,
bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran
atau kelahiran. Oleh karena haid adalah darah normal,
maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan
dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata
pada setiap wanita.
2. HIKMAH HAID
Adapun hikmahnya, karena janin yang ada di
dalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana
yang dimakan anak diluar kandungan, dan tidak mungkin
bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan
untuknya, maka Allah subhanahu wa ta'ala telah
menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran
darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin
dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna,
yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, di
mana darah tersebut merasuk melalui plasenta dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah
sebaik-baik Pencipta.
Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang
wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan
haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita
yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal
masa menyusui.
USIA DAN MASA HAID
1- USIA HAID
Usia haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan
kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid
sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid
sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada
kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.
Para ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada
batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita
tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia
tersebut?
Ad Darimi, setelah menyebutkan pendapatpendapat
dalam masalah ini, mengatakan: “hal ini semua,
menurut saya keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah
keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi
bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut
wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah
Yang Maha Tahu”.
Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi
pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah
haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9
tahun atau di atas 50 tahun. Sebab Allah subhanahu wa
ta'ala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini,
wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah
dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada
masalah di atas tidak ada satupun dalil yang
menunjukkan hal tersebut. .
2- MASA HAID
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan
masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh
pendapat dalam hal ini.
Ibnu Al Mundzir mengatakan: “Ada kelompok
yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai
batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.
Pendapat ini seperti pendapat Ad Darimi di atas
dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan
itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan
logika.
Dalil pertama:
Firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah: “ haid itu adalah suatu kotoran” , oleh sebab
itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci…” (QS. Al Baqarah: 222).
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas
akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari
semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini
menunjukkan bahwa illat (alasan) hukum (larangan
menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau tidaknya.
Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah
suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid
tersebut.
Dalil kedua:
Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepada Aisyah yang haid ketika dalam keadaan Ihram
untuk umrah:
“lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah haji,
hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum
kamu suci” (HR. Muslim: 4/30).
Kata Aisyah: “Setelah masuk hari raya kurban,
barulah aku suci”.
Dalam shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
Aisyah:
“Tunggulah, jika kamu suci, maka keluarlah ke
Tan’im” .
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai batas akhir larangan adalah
kesucian, bukan suatu masa tertentu, ini menunjukkan
bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada
dan tidaknya.
Dalil ketiga:
Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan
para fuqaha’ dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al-
Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, padahal ini masalah penting, bahkan amat
mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan
rincian tersebut termasuk yang wajib difahami oleh
manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah
subhanahu wa ta'ala, niscaya telah dijelaskan secara
gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang,
mengingat pentingnya hukum-hukum yang
diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa,
nikah, talak, warisan, dan hukum lainnya. Sebagaimana
Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat:
jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan
sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya,
persentasenya, dan siapa yang berhak menerimanya,
tentang puasa; waktu dan masanya, tentang haji dan
masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etika makan,
minum, tidur, jima’ (hubungan suami-istri),masuk dan keluar rumah, buang hajat,, sampai jumlah
bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan
perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang
besar, yang merupakan kelengkapan agama dan
kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada
kaum mu’minin.
Firman Allah ta’ala:
“…Kami turunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an)
untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS. An Nahl: 89).
“…Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuatbuat,
akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu…". (QS.
Yusuf: 111).
Oleh karena itu pembatasan dan rincian tersebut
tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka nyatalah bahwa hal
itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang
sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid,
yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’
menurut ada ada atau tidak adanya haid.
tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah- berguna bagi
anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama
lainnya, karena hukum syar’i tidak dapat ditetapkan
kecuali berdasarkan dalil syar’i dari kitab Allah, atau
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
ijma’ yang diketahui, atau qiyas yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu
kaidah yang dibahasnya mengatakan: “Di antara sebutan
yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam
Kitab dan Sunnah yaitu sebutan haid. Allah tidak
menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun
masa suci di antara dua haid. Padahal umat
membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa
mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara
satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barang siapa
menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia
telah menyalahi Kitab dan Sunnah. (Risalah fil asmaa
allati ‘allaqa Asy Syaari al ahkaama bihaa, hal: 35).
Dalil keempat:
Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya.
Yakni, bahwa Allah menerangkan illat (alasan) haid
sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti
kotoranpun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua
dengan hari pertama, antara hari keempat dengan hari
ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari ke enam
belas dengan hari ke lima belas, atau hari ke delapan
belas dengan hari ke tujuh belas. Haid adalah haid dan
kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut
terdapat illat yang sama. Jika demikian, bagaimana
mungkin dibedakan dalam hukum di antara kedua hari
itu, padahal keduanya sama dalam illat? Bukankah
menurut Qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut
sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam
illat?
Dalil kelima:
Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan
ulama yang memberikan batasan menunjukkan bahwa
dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan
patokan. Namun semua itu merupakan hukum-hukum
ijtihad yang bisa salah dan juga bisa benar, tidak ada satu
pendapat yang lebih patut diikuti dari pada lainnya. Dan
yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat
adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada
batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang
kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap
kali wanita melihat darah alami, bukan di sebabkan luka
atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa
mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali jika
keluarnya darah itu terus-menerus tanpa henti atau
berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam
sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah.
Dan akan dijelaskan Insya Allah, tentang istihadhah dan
hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Pada
prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah
haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa
darah itu istihadhah.”
Kata beliau pula: “Maka darah yang keluar adalah
haid, bila tidak diketahui darah penyakit atau karena
luka.”
Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat
yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat
yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih
mudah diamalkan dan diterapkan dari pada pendapat
mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian,
pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai
dengan akidah agama Islam, yaitu mudah dan gampang.
Firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“ Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al
Hajj: 78).
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sungguh agama (Islam) itu mudah, dan tidak
seseorangpun yang mempersulit (berlebih-lebihan)
dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka
berlakulah lurus, sederhana (tidak melampaui batas) dan
sebarkan kabar gembira” (HR. Al Bukhari)
Dan di antara akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa jika beliau diminta memilih dua perkara,
maka dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan
perbuatan dosa.
3. HAID WANITA HAMIL
Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan
hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam
Ahmad rahimahullah: “kaum wanita dapat mengetahui
adanya kehamilan dengan berhentinya haid”.
Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat
sebelum melahirkan (dua atau tiga hari) dengan di sertai
rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas, tetapi
jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati
kelahiran tapi tidak disertai rasa sakit, maka darah itu
bukan darah nifas. Jika bukan darah nifas, apakah itu
termasuk darah haid yang berlaku pula baginya hukumhukum
haid atau disebut darah kotor yang hukumnya
tidak seperti hukum darah haid? ada perbedaan pendapat
di antara para ulama dalam masalah ini.
Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah
darah haid apabila terjadi pada wanita menurut waktu
haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang keluar dari
rahim wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab
yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada
keterangan dalam Al Qur’an maupun Sunnah yang
menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil
Inilah pendapat Imam Malik dan As Syafi'i, juga
menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Disebutkan dalam kitab Al Ikhtiyar (hal: 30): “Dan
dinyatakan oeh Al Baihaqi menurut salah satu riwayat
sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan
bahwa Imam Ahmad telah kembali dari pendapat ini”.
Dengan demikian, terjadilah sesuatu pada wanita
hamil ketika haid, sebagaimana apa yang terjadi pada
wanita yang tidak hamil, kecuali dalam dua masalah:
1. Talak. Diharamkan mentalak (mencerai) wanita
tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi itu tidak
diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab talak
(perceraian) dalam keadaan haid terhadap wanita yang
tidak hamil menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“… apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)" (QS. Ath
Thalaq: 1).
Adapun mencerai wanita hamil dalam keadaan haid
tidak menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala.
Sebab, siapa yang mencerai wanita hamil berarti ia
menceraikannya pada saat dalam menghadapi masa
iddahnya, baik dalam keadaan haid atau suci, karena
masa iddahnya adalah dalam kehamilan. Untuk itu, tidak
diharamkan mencerai wanita hamil, sekalipun setelah melakukan jima’ (senggama), dan berbeda hukumnya
dengan wanita tidak hamil.
2. Iddah. Bagi wanita hamil iddahnya berakhir
pada saat melahirkan, meski pernah haid ketika hamil
ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa
ta'ala:
“ Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan
kandungannya” (QS. Ath Thalaq: 4).