by: Asy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin v
بسم ال الرحمن الرحيم
Segala puji hanya milik Allah I, kami memuji-nya, meminta tolong, meminta
ampun hanya kepada-Nya, dan bertaubat kepada-Nya. Kami berlindung
kepada Allah dari kejelekan diri-diri kami dan dari kejelekan amal-amal
kami.
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkanNya, maka tidak ada
yang dapat memberikan petunjuk kepadanya.
Kami bersaksi bahwa tidak ada ilah yang hak untuk disembah kecuali Allah
semata tanpa ada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan rasul-Nya yang Allah utus dengan petunjuk dan agama
yang haq, menyampaikan risalah, menunaikan amanah, menasehatkan
umatnya dan berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya, sampai
datangnya keyakinan (mati) dan meninggalkan umatnya di atas jalan yang
terang, malamnya seperti siangnya, tidak ada yang menyimpang dari
jalannya kecuali akan binasa.
Beliau menjelaskan pada jalan tersebut sesuatu yang dibutuhkan umatnya
dalam seluruh perkara, sampai-sampai Abu Dzar t berkata :
Nabi r tidaklah meninggalkan seekor burung pun yang mengepakngepakkan
sayapnya di udara kecuali beliau r telah menyebutkan kepada
kami ilmunya.”
Berkata seorang laki-laki dari kalangan musyrikin kepada Salmān Al Fārisī
t : “Apakah nabi kalian mengajari kalian sampai buang hajat – adab buang
hajat – ?” Berkata Salmān t : “ya, sungguh beliau melarang kami
menghadap ke arah kiblat ketika kami berak atau kencing, melarang kami
beristinja kurang dari tiga batu, dan melarang kami ketika buang hajat
dengan menggunakan tangan kiri, atau beristinja dengan kotoran hewan
dan tulang.”
Sesungguhnya engkau telah melihat Al Qur’an yang agung ini. Sungguh
Allah I telah menjelaskan pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya secara
menyeluruh. Allah menjelaskan tauhid dengan seluruh macamnya,
menjelaskan segala hal sampai pada adab bermajelis dan meminta idzin pun
telah di jelaskan. Allah I berfirman :
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu : "Berlapanglapanglah
dalam bermajlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu.” (Mujādilah : 11)
Allah I berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuni-nya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu)
ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah
kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu :
"Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An Nuur : 27-28)
Dan Allah juga menjelaskan kepada kita bagaimana adab berpakaian. Allah I
berfirman :
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan
per-hiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.” (An Nuur :
60)
Allah I berfirman :
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Ahzāb : 59)
Allah I berfirman
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan.” (An Nuur : 31)
Allah I berfirman :
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan
tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.” (Al Baqarah : 189)
Dan yang lainnya dari banyak ayat yang menjelaskan bahwa agama ini
syaamil (menyeluruh) dan sangat sempurna, sehingga tidak butuh kepada
suatu penambahan apapun, sebagaimana pula tidak boleh adanya suatu
pengurangan sedikitpun. Oleh karena itu Allah I berfirman mensifati Al
Qur’an :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) sebagai penjelas segala
sesuatu.” (An Nahl : 89)
Maka tidaklah ada dari sesuatupun yang dibutuhkan manusia dalam perkara
akhirat dan dunia mereka, kecuali Allah I telah menjelaskan di dalam kitab-
Nya baik secara nash, perkataan atau pemahaman.
Wahai Saudara-saudaraku !!!
Sesungguhnya sebagian manusia menafsirkan ucapan Allah I :
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
Mereka menafsirkan ucapan Allah : ( ما فرطنا في الك تاب ) bahwasannya Al Kitab
adalah Al Qur’an.
Adapun penafsiran yang benar : Bahwasanya yang dimaukan dengan Al
Kitab di sini adalah Al Lauh Al Mahfudz. Adapun Al Qur’an, sesungguhnya
Allah I mensifati dangan sifat yang sempurna daripada penafian apapun,
yaitu ucapan-Nya :
“Dan Kami turunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kalian sebagai penjelas
segala sesuatu.” (An Nahl : 89).
Dan mungkin seseorang akan berkata : “Di manakah kami mendapatkan
jumlah shalat lima waktu dan jumlah setiap shalat dalam Al Qur’an ? Dan
bagaimana cara menegakkannya padahal kami tidak mendapatkan dalam Al
Qur’an penjelasan tentang jumlah raka’at setiap shalat, sedangkan Allah
berfirman :
“Dan Kami turunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kalian sebagai penjelas
segala sesuatu.” (An Nahl : 89).
Jawabnya :
Allah I telah menjelaskan kepada kita di dalam kitab-Nya, bahwa termasuk
kewajiban kita adalah mengambil sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah r dan
perkara-perkara yang ditunjukkan kepada kita.
“Barangsiapa yang mentaati Ar Rasul, berarti dia mentaati Allah.” (An Nisaa
: 80)
“Apa yang dibawa oleh Ar Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa yang
dilarang bagimu maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr : 7)
Dan sesuatu yang telah dijelaskan oleh As Sunnah maka (harus diikuti),
karena Al Qur’an telah menunjukkan kepada hal tersebut.
As Sunnah adalah termasuk salah satu bagian dari wahyu yang Allah
turunkan kepada Rasul-nya r dan mengajarkan kepadanya. Sebagaimana
Allah I berfirman :
“Dan Allah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As
Sunnah).” (An Nisaa : 113)
Oleh karena itu, apa yang datang dalam As Sunnah maka sungguh datang
pula di dalam Kitabullah I.
Wahai Saudara-saudaraku !! Apabila telah tetap hal tersebut di sisi kalian.
Lalu dengan wafatnya Nabi r, apakah masih tersisa sesuatu dari agama ini,
sebagai bentuk pendekatan (peribadatan) kepada Allah, yang tidak
dijelaskan oleh Rasullullah r ?
Nabi r telah menjelaskan setiap perkara dalam agama ini, baik berupa
ucapan, perbuatan, penetapan di awalnya atau sebagai jawaban atas
pertanyaan, dan kadang-kadang Allah mengutus seorang A’robi (Arab
gunung) datang kepada Nabi r, karena sesuatu perkara agama, di mana
para shahabat bermulazamah (bersama beliau untuk menimba ilmu) dan
tidak bertanya tentangnya. Oleh karena itu mereka – para shahabat –
gembira jika datang Arab gunung untuk bertanya kepada Nabi r tentang
beberapa perkara. Dan menunjukkan kepadamu bahwasanya Nabi r tidak
meninggalkan sesuatupun dari perkara-perkara yang dibutuhkan manusia
dalam perkara ibadah, mu’amalah, dan kehidupan mereka melainkan beliau
r telah menjelaskan semuanya. Sebagaimana ditunjukkan kepadamu akan
hal tersebut dalam firman Allah t :
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agama
bagimu.” (Al Maidah : 3)
Apabila telah mantap hal tersebut di sisimu wahai muslim, maka ketahuilah
setiap orang yang membuat-buat syari’at (atau mengada-adakan
sesuatu yang baru dalam agama Allah) walau tujuannya baik, maka
inilah (yang dinamakan) bid’ah yang sesat dan dianggap mencela
agama Allah I, dan berdusta kepada Allah pada firman-Nya :
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” (Al Maidah
: 3)
Karena seorang mubtadi’ (orang yang berbuat bid’ah) yang membuat
syari’at baru dalam agama Allah I, yang bukan dalam perkara agama Allah,
seakan-akan dia sudah mengatakan : “Sesungguhnya agama ini belum
sempurna, karena masih ada syari’at yang harus dibuat, agar dia dapat
bertaqarrub kepada Allah I dengan syari’at yang dibuatnya tersebut”.
Dan termasuk keanehan, bahwasanya ada seseorang yang membuat suatu
perkara yang baru (bid’ah), yang berkaitan dengan dzat Allah, nama-nama
dan sifat-sifatNya, lalu dia berkata : Sesungguhnya saya melakukan ini
(membuat kebid’ahan ini) dalam rangka mengagungkan Rabbnya, padahal
apa yang telah diperbuatnya tersebut adalah perkara yang tidak berguna,
dan menyerupai firman Allah I :
“Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan dalam
keadaan kalian mengetahuinya.”
Sesungguhnya engkau akan terheran-heran, ketika ada orang yang
mengadakan kebid’ahan dalam agama Allah, yang berkaitan dengan Dzat
Allah di mana para salaful ummah dan para Imam tidak berada di atasnya,
kemudian dia mengatakan : Sesungguhnya ini perkara sia-sia kepada Allah
dan dianggap bentuk pengagungan kepada Allah dan penyerupaan terhadap
firman Allah U.
“Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan dalam
keadaan kalian mengetahuinya.”
Barangsiapa yang menyelisihi hal tersebut, maka dia telah melakukan
penyerupaan atau yang semisalnya dengan julukan-julukan yang jelek.
Sebagaimana juga engkau merasa heran kepada suatu kaum yang
melakukan kebid’ahan dalam agama Allah yang bukan bagian darinya,
dalam perkara-perkara yang bukan berdasarkan apa yang telah diajarkan
oleh Rasulullah r, tapi kemudian mereka mengaku bahwa mereka mencintai
Rasulullah r dan memuliakannya.
Kemudian orang yang tidak mencocoki kebid’ahan mereka, mereka anggap
dia membenci diri Rasulullah r atau yang semisalnya dengan julukan-julukan
yang jelek.
Dan juga termasuk keanehan, bahwasanya orang-orang yang semisal
mereka mengatakan : “Kami adalah orang yang memuliakan Allah dan
Rasul-Nya.” dalam keadaan mereka telah berbuat bid’ah pada agama Allah
dan syariat-Nya yang telah dibawa oleh Rasulullah r. Maka tanpa ragu lagi,
bahwasanya mereka itulah yang telah mendahului Allah dan Rasul-Nya.
Sebagaimana Allah I berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan
Rasul-Nya. Bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (Al Hujuraat : 1)
Wahai saudara-saudaraku !! Aku bertanya dan bersumpah atas kalian
kepada Allah U dan aku menginginkan jawaban dari hati kalian bukan dari
hawa nafsu kalian, dan dari ketetapan agama, bukan dari sikap taklid
(mengekor) kalian, seperti perkara-perkara yang berkaitan dengan dzat
Allah, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, atau perkara-perkara yang berkaitan
terhadap apa yang sudah disampaikan oleh Rasulullah r. Kemudian mereka
berkata : “Kami adalah orang-orang yang memuliakan Allah dan Rasul-Nya.”
Apakah mereka lebih berhak memuliakan Allah dan Rasul-Nya ? ataukah
mereka itu kaum yang tidak menyimpangkan kaidah dusta terhadap syari’at
Allah. Dalam perkara yang dibawa oleh syariat ini, mereka berkata : “Kami
beriman dan membenarkan perkara-perkara yang dikabarkan kepada kami,
kami dengar dan kami taat pada perkara-perkara yang kami diperintah dan
dilarang darinya” Sedangkan pada perkara-perkara yang tidak dibawa
syari’at ini, mereka berkata : “Kami menjauhkan diri dari hal tersebut dan
melarangnya. Tidak ada bagi kami untuk mendahului Allah dan Rasul-Nya,
dan tidak boleh bagi kami untuk mengatakan tentang agama Allah yang
bukan bagian darinya.”
Wahai, apakah kebenaran yang akan memberikan rasa cinta dan
pengagungan kepada Allah dan Rasul-Nya ?
Tidak dapat diragukan lagi, bahwasanya orang-orang yang mengatakan :
“Kami beriman dan membenarkan apa yang dikabarkan kepada kami,
kemudian kami dengar dan kami taat pada perkara-perkara yang
diperintahkan.” Dan mereka berkata : “Sangat kurang sekali kemampuan
diri-diri kami untuk membuat sesuatu dari syari’at Allah yang bukan dari
syari’at-Nya atau membuat suatu kebid’ahan dalam agama yang bukan
bagian darinya.” Tidak ragu lagi bahwasanya mereka adalah orang-orang
yang mengetahui kadar kemampuan dirinya dan kadar penyelisihan mereka.
Mereka adalah orang-orang yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya dan
menampakkan kejujuran kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tidaklah mereka berbuat bid’ah pada agama Allah yang bukan bagian
darinya, baik dalam hal aqidah, ucapan dan amalan. Dan sesungguhnya
kamu benar-benar akan takjub terhadap suatu kaum dimana mereka
mengetahui sabda Rasulullah r :
“Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang diada-adakan, karena
setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
sesat, serta setiap kesesatan ada di dalam neraka.”
Dan mereka mengetahui bahwasanya sabda Nabi r : kulu bid'atin dholalah bersifat umum,
mencakup semuanya (bahwa semua bid’ah itu sesat, pent), yang dibatasi
dengan faktor keumuman dan pencakupan yaitu ( ل ك ) dan yang berucap
dengan al kulliyah (keseluruhan) adalah Rasulullah r yang tahu penunjukkan
lafadz ini. Beliau orang yang paling fasih dan sebaik-baik penasehat terhadap
makhluk, yang beliau tidak berucap kecuali dengan sesuatu yang
diketahui maknanya. Kalau begitu, Nabi r ketika bersabda :kullu bid'atin dholalah
beliau r mengetahui apa yang diucapkannya dan kandungan maknanya.
Ucapan ini muncul dari beliau tentang sempurna-nya nasehat untuk umat
ini.
Apabila telah sempurna 3 perkara pada ucapan ini – sempurnanya nasehat
dan kehendak, sempurnanya penjelasan dan kefasihan dan sempurnanya
ilmu dan pengetahuan – maka yang dimaukan dengan ucapan ini adalah
sesuatu yang menunjukkan atas makna. Apakah setelah lafadz al kulliyyah
ini membolehkan adanya pembagian bid’ah kepada 3 macam atau 5
macam ? Pembagian ini selamanya tidak boleh.
Dan ada seorang ulama yang mengatakan bahwasanya ada bid’ah hasanah,
kemungkinan hal ini disebabkan ada padanya dua keadaan :
1. Menganggap hal itu bid’ah padahal bukan bid’ah
2. Hal tersebut adalah bid’ah yang jelek akan tetapi dia tidak tahu
kejelekannya.
Setiap segala sesuatu yang diakui bahwasanya ada bid’ah hasanah, maka
dijawab dengan dua keadaan yang disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu,
tidak ada tempat bagi ahlil bid’ah untuk menjadikan kebid’ahan mereka
sebagai bid’ah hasanah. Dan di tangan kami ada pedang yang tajam dari
Rasulullah r (kullu bid'atin dholalah). Sesungguhnya pedang yang tajam ini dibuat di
tempat pembuatan nubuwwah dan risalah, bukan di tempat yang ada
kegoncangan. Dan Nabi r membentuk-nya dengan sempurna, maka tidak
mungkin ada pedang yang semisalnya ini untuk dihadapkan pada seseorang
yang melakukan bid’ah dengan ucapan : “Sesungguhnya bid’ah ini baik”
padahal Rasulullah r bersabda : “Setiap bid’ah sesat”
Seakan-akan aku merasa pada jiwa-jiwa mereka terdapat ‘hewan melata’,
ketika mereka berkata : Apakah yang kamu katakan pada ucapan ‘Amirul
mu’miniin ‘Umar bin Khatthab t yang sesuai dengan kebenaran ketika beliau
memerintahkan Ubay bin Ka’ab t dan Tamiim ad Daary t agar berdua
mengimami manusia (shalat tarawih) di bulan ramadhan. Umar t keluar
ketika manusia berkumpul pada imam mereka dan berkata :
« نعمت البدعة هذه والتي ينامون عنها أفضل من التي يقومون »
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.
Jawabannya dari dua sisi :
Pertama : Tidak boleh bagi siapapun untuk membantah ucapan Rasulullah r
dengan ucapan siapapun, walau dengan ucapan Abu Bakr, ‘Umar, Utsmaan
atau ‘Ali y sekalipun mereka adalah sebaik-baik manusia setelah Rasulullah
r, terlebih lagi dengan ucapan dari selain mereka. Karena Allah berfirman :
“Maka hendaklah orang yang menyelisihi perintahnya (Rasulullah r) takut
untuk ditimpakan kepada mereka fitnah atau adzab yang pedih.” (An Nuur :
63)
Berkata Al Imām Ahmad v : “Apakah engkau tahu apa itu fitnah ? Fitnah
adalah syirik. Kemungkian jika dia menolak sebagian ucapan Nabi r maka
akan tertancap di hatinya sesuatu penyimpangan. Lalu dia binasa.”
Berkata Ibnu ‘Abbas t : “Hampir-hampir saja kalian dijatuhkan batu dari
langit, aku mengatakan : “Berkata Rasulullah r.” Malah kalian
mengatakan : “Berkata Abu Bakr dan ‘Umar.”
Kedua : Kita tahu dengan yakin bahwasanya Amirul Mu’miniin ’Umar bin
Khotthob t adalah orang yang paling besar pengagungannya terhadap
ucapan Allah dan Rasul-Nya r. Dan sudah masyhur bahwa beliau adalah
orang yang wukuuf (berhenti dan faham) terhadap bantasan (hukumhukum)
Allah I, sampai-sampai beliau disifati dengan wakoof (berhenti)
terhadap ucapan Allah I.
Dikisahkan tentang seorang perempuan yang membacakan ayat kepada
‘Umar t - jika kisah ini shahih – dalam pembatasan pemberian mahar
dengan kebodohan pada kebanyakannya di mana perempuan tersebut
membacakan ucapan Allah I :
“Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka
dengan harta yang banyak.” (An Nisaa’ : 20)
Kemudian ‘Umar melarang terhadap perkara yang diinginkan dari
pembatasan pemberian mahar ini. Akan tetapi kisah ini perlu diteliti kembali.
Dan yang dimaukan (kedua kisah ini) adalah penjelasan bahwasanya Umar
t adalah orang yang waqoof (diam) terhadap batasan-batasan Allah, tidak
menentangnya, dan tidak didapati pada diri ‘Umar t penyelisihan terhadap
ucapan Saidil Basyar Muhammad r.
Dan penjelasan bahwa dia mengatakan tentang bid’ah : “Sebaik-baik bid’ah”
dan bid’ah ini adalah bid’ah yang diinginkan oleh Rasulullah r dengan
sabdanya : “Setiap bid’ah sesat” bahkan mesti tinggalnya bid’ah yang
dikatakan ‘Umar bahwasanya bid’ah ini “sebaik-baik bid’ah” ada di atas
bid’ah yang tidak masuk di bawah kehendak Nabi r pada ucapannya :
“Setiap bid’ah sesat.” Kemudian Umar t mengisyaratkan dengan
ucapannya : “sebaik-baik bid’ah adalah ini” kepada jama’ah (shalat tarawih)
di bawah seorang imam yang sebelumnya mereka berpisah-pisah (dalam
melaksanakan shalat tarawih). Asal shalat tarawih telah ada dari Rasulullah
r. Sungguh telah tetap dalam As Shahihain dari hadits Aisyah t bahwasanya
Nabi r shalat di bulan ramadhan mengimami manusia selama 3 malam dan
mengakhirkan shalat dari manusia pada malam yang keempat, lalu beliau r
bersabda :
“Sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan kepada kalian (shalat tarawih)
kemudian kalian tidak mampu darinya.”
Shalat malam di bulan ramadhan secara berjama’ah termasuk sunnah
Rasulullah r, kemudian ‘Umar t menamakannya dengan bid’ah dengan
asumsi bahwa Nabi r meninggalkan shalat ini, menjadikan manusia
berpencar-pencar shalat di masjid, ada yang shalat sendiri, satu imam
bersama satu orang, satu orang imam bersama dua orang, atau lebih 3
orang sampai 10 orang, atau sekelompok orang. Lalu Amirul Mu’miniin Umar
t berpendapat dengan pendapat yang benar yaitu mengumpulkan manusia
untuk berjama’ah di atas seorang imam. Maka perbuatan ini dinisbatkan
terhadap berpisah-pisahnya manusia sebelum bid’ah, yaitu bid’ah
i’tibariyyah idhofiyyah (asalnya sudah ada) bukannya bid’ah secara mutlaq
insyaa’iyyah (tidak ada asalnya) yang dimunculkan oleh Umar t. Karena
sunnah ini sudah ada pada jaman Nabi r, akan tetapi sunnah ini ditinggalkan
sejak jaman Nabi r sampai dikembalikan lagi oleh ‘Umar t. Sehingga dengan
adanya penghalang ini, selamanya mustahil bagi ahlul bid’ah menjadikan
ucapan Umar ini sebagai dalil untuk pembolehan terhadap sesuatu yang
mereka anggap baik dari kebid’ahan mereka.
Dan berkata seseorang : “di sana ada berbagai macam bid’ah yang ada
sebelum kaum muslimin dan mereka mengamalkan bid’ah tersebut, yaitu
bid’ah yang tidak dikenal pada jaman Nabi r seperti madrasah-madrasah
dan penulisan kitab-kitab dan yang lainnya. Bid’ah inilah yang dianggap baik
oleh kaum muslimin sehingga mereka mengamalkannya. Mereka
berpendapat bahwasanya hal tersebut sebaik-baik amalan. Bagaimana
menggabungkan perkara yang hampir-hampir saja bersepakat di atasnya di
antara kaum muslimin, dan di antara ucapan kaum muslimin dengan ucapan
Nabi r : “Setiap bid’ah adalah sesat.”
Jawabnya :
Kita katakan : Kejadian ini bukanlah bid’ah, bahkan hal tersebut merupakan
wasilah (perantara) kepada yang disyariatkan. Wasilah-wasilah tersebut
berbeda seiring dengan perbedaan waktu dan tempat. Dan termasuk kaidah
yang telah ditetapkan bahwasanya wasilah-wasilah mempunyai tujuantujuan
hukum. Wasilah-wasilah yang disyariatkan maka perkara itu
disyariatkan, adapun wasilah-wasilah yang tidak disyariatkan maka perkara
itu tidak disyariatkan pula, bahkan wasilah yang haram akan menjadi haram
pula. Perkara kebaikan apabila wasilahnya untuk sesuatu yang jelek maka
menjadi jelek pula. Perhatikanlah firman Allah U :
Mencela ilah-ilah musyrikin bukanlah melampaui batas bahkan benar dan
sesuai pada tempatnya. Akan tetapi mencela Rabb semesta alam merupakan
perkara melampaui batas yang bukan pada tempatnya dan tindakan
kezaliman. Oleh karena itu celaan ilah-ilah musyrikin yang dipuji merupakan
sebab luas menuju celaan terhadap Allah karena mencela Allah haram dan
dilarang.
……… sebagai dalil bahwasanya wasilah-wasilah untuk perkara ini ada
hukum-hukum yang dituju. Madrasah-madrasah, penulisan ilmu, dan
penulisan kitab-kitab, jika hal itu bid’ah maka tidak didapatkan pada jaman
Nabi r pada sisi ini, kecuali kalau perkara tadi bukanlah yang dituju bahkan
hal itu merupakan wasilah. Dan wasilah-wasilah mempunyai hukum-hukum
yang dituju. Oleh karena itu kalau seseorang membangun madrasah untuk
mempelajari ilmu yang haram, maka bangunan tersebut menjadi haram,
kalau dia membangun madrasah untuk mempelajari ilmu syar’i, maka
bangunan tersebut disyari’atkan.
Jika ada yang berkata : “Bagaimana menjawab tentang ucapan Rasulullah
r :
(من سن في السلم سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة)
“Barangsiapa melaksanakan suatu sunnah dalam Islam sunnah yang baik,
maka dia akan mendapatkan pahala dan pahala orang yang mengikutinya
sampai hari kiamat.”
Dan sunnah di sini bermakna “syar’i” ?
Jawabnya :
Bahwasanya barangsiapa yang mengatakan : “ من سن في ال سلم ”, maka dialah
yang mengatakan : “ كل بد عة ضللة ”. Dan tidaklah mungkin muncul dari orang
yang benar dan dibenarkan ada ucapan yang mendustakan ucapan yang
lain, tidaklah mungkin bertentangan ucapan Rasulullah r selamanya, dan
tidak mungkin pula menolak makna yang satu disertai pertentangan
selamanya. Barangsiapa yang menyangka bahwasanya ucapan Allah atau
Rasul-Nya bertentangan, maka hendaklah dia meneliti kembali. Jika
anggapan ini muncul bisa jadi dari kelalaian atau kelemahannya. Dan tidak
mungkin selamanya didapati ucapan Allah dan Rasul-Nya bertentangan.
Dan jika keadaannya seperti itu, maka butuh kepada penjelasan ketidak
adaannya pertentangan antara hadits “ كل بدعة ضللة ” terhadap hadits : “ من سن في
السلم ”. Nabi r berkata : “ من سن في السلم ” maka bid’ah bukanlah dari Islam dan
beliau r mengatakan “hasanah” maka bid’ah bukanlah hasanah. Berbeda
antara sunnah dengan bid’ah.
Dan di sana ada ucapan tidak mengapa : bahwasanya makna ( من سن ) adalah
orang yang menghidupkan sunnah yang sudah ada sebelumnya hanya
selama ini sudah ditinggalkan. Oleh karena itu, Kata “ السن ” idhofah nisbiyyah,
sebagaimana " البد عة " idhofah nisbiyyah terhadap orang yang menghidupkan
sunnah yang sebelumnya ditinggalkan.
Dan di sana ada jawaban yang ketiga : yang menunjukkan ada padanya
sebab hadits ini yaitu kisah sekelompok orang datang kepada Nabi r dalam
keadaan yang sangat sempit (kesusahan), kemudian Nabi r berdo’a agar
ada yang memberikan sedekah kepada mereka. Maka datanglah seorang
laki-laki anshor yang di tangannya ada sekantung perak, seakan-akan berat
tangannya lalu meletakkannya di tangan Rasulullah r, maka wajah Nabi r
bercahaya karena gembira, lalu bersabda :
(من سن في السلم سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة)
Pada hadits ini makna “ ال سن ” adalah mengamalkan sunnah yang telah
ditinggalkan dan bukanlah amalan tasyri’i (pembuatan syariat) maka
makna : ( من سن في ال سلم سنة ح سنة ) adalah orang yang beramal dengan amalan
yang sudah ada sebelumnya, yang sudah ditinggalkan, bukan tasyrii’
(amalan yang sebelumnya tidak ada), karena At Tasyrii’ (pembuatan
syari’at) adalah terlarang sebagaimana makna hadits “setiap bid’ah sesat”.
Hendaklah diketahui wahai saudara ! bahwasanya mutaaba’ah (mengikuti
Rasulullah r) tidaklah terealisasi kecuali jika amalan tersebut mencocoki
syari’at pada enam perkara :
1. As Sabab (Sebab)
Apabila manusia beribadah kepada Allah U dengan peribadatan yang
bergandengan dengan sebab yang tidak syar’i, maka ibadah tersebut
bid’ah tertolak pelakunya.
Misalnya : Sebagian manusia menghidupkan malam yang ke tujuh dan ke
sepuluh di bulan rajab dengan tujuan bahwa malam-malam tersebut
adalah malam yang akan menghilangkan segala macam musibah. Shalat
Tahajjud adalah ibadah akan tetapi ketika digabungkan dengan sebab ini
maka menjadi bid’ah, karena ibadah ini dibangun di atas sebab yang
tidak ditetapkan secara syar’i.
Dan sifat ini – penyesuaian ibadah terhadap syari’at karena sebab –
perkara yang penting yang menjelaskan kebid’ahan yang banyak
disangka orang termasuk sunnah padahal bukan sunnah.
2. Al Jins (jenis)
Harus adanya penyesuaian ibadah kepada syari’at dalam hal jenisnya.
Kalau manusia beribadah kepada Allah dengan ibadah yang tidak
disyariatkan jenisnya, maka ibadah itu tidak diterima.
Misalnya : seseorang menyembe-lih kuda (untuk idul qurban) maka tidak
sah penyembelihan dengan kuda, karena menyelisihi syari’at dalam hal
jenisnya. Dan penyembelihan hewan kurban harus dari hewan ternak,
unta,
sapi dan kambing.
3. Al Qadr (ukuran)
Kalau seandainya manusia mengingin-kan untuk menambah shalat wajib,
maka kita katakan : ini adalah bid’ah tidak dapat diterima, karena
menyelisihi syari’at dalam hal ukuran. Dan terlebih lagi kalau manusia
shalat dhuhur – sebagai contoh – lima rakaat, maka shalatnya tidak sah
sesuai dengan ijma’ (kesepakatan kaum muslimin).
4. Kaifiyyah (tata cara)
Contoh : Seseorang berwudhu dimulai dengan mencuci kedua kakinya,
lalu mengusap kepala, mencuci kedua tangan, lalu wajahnya, maka kita
katakan : wudhunya batil karena menyelisihi syariat yang tidak sesuai
tata caranya.
5. Az zamaan (waktu)
Contoh : Seseorang berkurban di awal bulan Dzulhijjah, maka tidak
diterima kurbannya karena menyelisihi syariat dalam waktu
pelaksanaannya.
Aku mendengar bahwasanya sebagian manusia pada bulan Ramadhan,
menyembelih kambing dalam rangka bertaqorrub (beribadah) kepada
Allah, maka amalan ini termasuk bid’ah karena sisi waktu ini. Karena di
sana tidak ada sesuatu yang dapat bertaqorrub kepada Allah dengan
penyembelihan kecuali saat al udh-hiyyah (idul adh-ha), hadiyah dan
aqiqah. Adapun penyembelihan di bulan ramadhan disertai keyakinan
mendapat pahala seperti menyembelih dalam idul adha maka hal ini
adalah bid’ah. Adapun menyembelih sekedar diambil dagingnya
(dimakan) maka ini dibolehkan.
6. Al Makaan (tempat)
Contoh : Seseorang itikaf di tempat selain daripada masjid, maka
itikafnya ini tidak sah, karena itikaf tidaklah dikerjakan kecuali di masjidmasjid.
Kalau seorang wanita berkata : aku ingin beritikaf di suatu
tempat (tempat khusus shalat) di rumah, maka tidak sah itikafnya
karena menyelisihi syari’at dalam hal tempat pelaksanaannya. Dan di
antara lainnya apabila seseorang ingin melakukan thawaf lalu tempat
thawaf tersebut telah sempit dan tempat di sekitarnya pun sempit. Lalu
dia berthawaf dari belakang masjid, maka tidak sah thawafnya karena
tempat thawaf adalah di baitullah. Allah U berfirman kepada Nabi Ibrahim
Al khaliil :
“dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orangorang
yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.” (Al Hajj :
26)
Ibadah akan menjadi amalan yang sholeh dan diterima di sisi Allah
apabila terealisasi dua syarat :
1. Al Ikhlas
2. Al Mutaaba’ah (mengikuti sunnah Nabi r)
Al Mutaba’ah tidaklah terealisasi kecuali harus ada padanya enam perkara
yang baru saja disebutkan.
Kepada orang yang melakukan kebid’ahan - yang terkadang tujuan mereka
baik dan menginginkan kebaikan – aku katakan kepadanya : “Jika kamu
menginginkan kebaikan, maka tidak, demi Allah, kamu tidak akan
mendapatkan kebaikan tersebut !! karena kami tidak mengetahui jalan
kebaikan kecuali jalan yang telah ditempuh oleh para salafus shaleh.
Wahai saudara-saudara ku !! gigitlah sunnah Rasulullah r dengan gigi
geraham kalian, tempuhlah jalan para salafus sholeh dan jadilah seperti apa
yang mereka ada di atasnya, dan lihatlah apakah hal itu membawa
mudhorot untuk kalian terhadap sesuatu hal?
Aku katakan : - dengan meminta perlindungan kepada Allah atas ucapanku
yang tidak ada pada sisiku suatu ilmu – engkau dapatkan banyak orang
yang bersemangat di atas kebid’ahan yang dibuat untuk menyampaikan
perkara-perkara yang ditetapkan syari’at dan sunnah. Apabila mereka
selesai dari kebid’ahan ini, mereka akan menerima sunnah yang tetap dalam
keadaan lemah. Ini semua efek negatif bahayanya bid’ah. Dan bahayanya
sangat besar bagi agama ini. Tidaklah suatu kaum yang mengada-adakan
dalam agama ini suatu kebid’ahan kecuali akan lenyaplah sunnah yang
semisalnya atau yang lebih dari itu. Sebagaimana yang disebutkan sebagian
ahlul ilmi dari kalangan salaf.
Akan tetapi manusia beranggapan (dengan anggapan yang salah-penj) jika
dengan mengikuti sesuatu yang tidak disyariatkan, maka akan tercapai bagi
mereka kesempurnaan rasa takut, ketundukkan, penghinaan diri dan
beribadah kepada Rabbul ‘alamiin, dan kesempurnaan ittiba kepada
Rasulullah r.
Kepada para saudaraku muslimin yang berbuat suatu bid’ah dengan
anggapan baik, sama saja apakah yang berkaitan terhadap Dzat Allah,
nama-nama dan sifat-sifatNya atau yang berkaitan pada diri Rasulullah r,
maka Aku nasihatkan kepada mereka agar bertakwa kepada Allah dan
berbuat adillah, dan jadikanlah perkara-perkara mereka dibangun di atas
ittiba’ bukan di atas ibtida’ (perkara yang diada-adakan), di atas keikhlasan
kepada Allah bukan di atas kesyirikan, di atas sunnah bukan di atas bid’ah,
dan di atas sesuatu yang dicintai Ar Rahman bukan di atas sesuatu yang
dicintai syaithon. Dan hendaklah memperhatikan apa yang dapat membawa
hati-hati kalian pada keselamatan, kehidupan, tu’maninah (ketenangan),
kelapangan hidup, dan pancaran cahaya.
Aku memohon kepada Allah agar menjadikan kita sebagai penunjuk kepada
jalan kebenaran, penuntun kepada kebaikan, dan menyinari hati kita dengan
keimanan dan ilmu, dan janganlah menjadikan sesuatu yang kita tidak tahu
sebagai keburukan bagi kita.
Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad r,
keluarganya dan para shahabatnya